Sabtu, 23 Februari 2013

SistemPemerintah

Ciri-ciri dari sistem pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut :
  1. Badan legislatif atau parlemen adalah satu-satunya badan yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan dan lembaga legislatif.
  2. Anggota parlemen terdiri atas orang-orang dari partai politik yang memenangkan pemiihan umum. Partai politik yang menang dalam pemilihan umum memiliki peluang besar menjadi mayoritas dan memiliki kekuasaan besar di parlemen.
  3. Pemerintah atau kabinet terdiri dari atas para menteri dan perdana menteri sebagai pemimpin kabinet. Perdana menteri dipilih oleh parlemen untuk melaksakan kekuasaan eksekutif. Dalam sistem ini, kekuasaan eksekutif berada pada perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Anggota kabinet umumnya berasal dari parlemen.
  4. Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas anggota parlemen. Hal ini berarti bahwa sewaktu-waktu parlemen dapat menjatuhkan kabinet jika mayoritas anggota parlemen menyampaikan mosi tidak percaya kepada kabinet.
  5. Kepala negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri, sedangkan kepala negara adalah presiden dalam negara republik atau raja/sultan dalam negara monarki. Kepala negara tidak memiliki kekuasaan pemerintahan. Ia hanya berperan sebgai symbol kedaulatan dan keutuhan negara.
  6. Sebagai imbangan parlemen dapat menjatuhkan kabinet maka presiden atau raja atas saran dari perdana menteri dapat membubarkan parlemen. Selanjutnya, diadakan pemilihan umum lagi untuk membentukan parlemen baru.
Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer:
  • Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
  • Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan public jelas.
  • Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer :
  • Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
  • Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bias ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
  • Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai meyoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
  • Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini ciri-ciri, kelebihan serta kekurangan dari sistem pemerintahan presidensial.

Ciri-ciri dari sistem pemerintaha presidensial adalah sebagai berikut.
  1. Penyelenggara negara berada ditangan presiden. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau suatu dewan majelis.
  2. Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertangungjawab kepada presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif.
  3. Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen. Hal itu dikarenakan presiden tidak dipilih oleh parlemen.
  4. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer.
  5. Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga perwakilan. Anggota parlemen dipilih oleh rakyat.
  6. Presiden tidak berada dibawah pengawasan langsung parlemen.
Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial :
  • Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen.
  • Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Indonesia adalah lima tahun.
  • Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
  • Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial :
  • Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.
  • Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.
  • Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.

Ciri-ciri dari sistem pemerintahan parlementer adalah sebagai berikut :
  1. Badan legislatif atau parlemen adalah satu-satunya badan yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar sebagai badan perwakilan dan lembaga legislatif.
  2. Anggota parlemen terdiri atas orang-orang dari partai politik yang memenangkan pemiihan umum. Partai politik yang menang dalam pemilihan umum memiliki peluang besar menjadi mayoritas dan memiliki kekuasaan besar di parlemen.
  3. Pemerintah atau kabinet terdiri dari atas para menteri dan perdana menteri sebagai pemimpin kabinet. Perdana menteri dipilih oleh parlemen untuk melaksakan kekuasaan eksekutif. Dalam sistem ini, kekuasaan eksekutif berada pada perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Anggota kabinet umumnya berasal dari parlemen.
  4. Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas anggota parlemen. Hal ini berarti bahwa sewaktu-waktu parlemen dapat menjatuhkan kabinet jika mayoritas anggota parlemen menyampaikan mosi tidak percaya kepada kabinet.
  5. Kepala negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Kepala pemerintahan adalah perdana menteri, sedangkan kepala negara adalah presiden dalam negara republik atau raja/sultan dalam negara monarki. Kepala negara tidak memiliki kekuasaan pemerintahan. Ia hanya berperan sebgai symbol kedaulatan dan keutuhan negara.
  6. Sebagai imbangan parlemen dapat menjatuhkan kabinet maka presiden atau raja atas saran dari perdana menteri dapat membubarkan parlemen. Selanjutnya, diadakan pemilihan umum lagi untuk membentukan parlemen baru.
Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer:
  • Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif berada pada satu partai atau koalisi partai.
  • Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan public jelas.
  • Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam menjalankan pemerintahan.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer :
  • Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.
  • Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet tidak bias ditentukan berakhir sesuai dengan masa jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.
  • Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan berasal dari partai meyoritas. Karena pengaruh mereka yang besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat mengusai parlemen.
  • Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi menteri atau jabatan eksekutif lainnya.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini ciri-ciri, kelebihan serta kekurangan dari sistem pemerintahan presidensial.

Ciri-ciri dari sistem pemerintaha presidensial adalah sebagai berikut.
  1. Penyelenggara negara berada ditangan presiden. Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau suatu dewan majelis.
  2. Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertangungjawab kepada presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif.
  3. Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen. Hal itu dikarenakan presiden tidak dipilih oleh parlemen.
  4. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer.
  5. Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga perwakilan. Anggota parlemen dipilih oleh rakyat.
  6. Presiden tidak berada dibawah pengawasan langsung parlemen.
Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial :
  • Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada parlemen.
  • Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden Indonesia adalah lima tahun.
  • Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa jabatannya.
  • Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial :
  • Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.
  • Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.
  • Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu yang lama.

MasaKini

KESOPANAN KIAN DITELAN ZAMAN

Busana menjadi topik yang tidak lagi tabu untuk dibahas. Karena mungkin, mayoritas masyarakat tidak terlalu berpikir pusing dengan hal yang satu ini. Namun bagaimanakah dengan eksistensi kesopanan yang melekat pada etika berbusana yang kini semakin hilang terkikis akibat derasnya westernisasi yang membawa pengaruh negatif? Apakah masalah ini semudah itu untuk diabaikan? Sehingga kini masyarakat, terutama kalangan perempuan, entah ia muslimah atau bukan, berjilbab atau tidak, tampak sama saja dengan gaya dan etika berbusana mereka.

Kita tahu, mode busana merupakan satu di antara banyak aspek dalam kehidupan manusia yang berpotensi mengimbangi arus globalisasi zaman. Apalagi busana kaum hawa. Karena sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada kehidupan manusia sebagai dampak dari modernisasi, mode busana dapat dikatagorikan sebagai hl yang cepat sekali berkembang. Perkembangannya pun tidak hanya mengacu pada hal yang tampak secara visual meliputi desain, gaya, atau pun modelnya, melainkan juga pada hal nonfisik yang tidak tampak secara visual tetapi bisa dirasakan oleh nurani manusia, yakni etika dan nilai kesopanannya. Bahkan, mode busana pun terkesan “tren-trenan”. Misalnya, terdapat segelintir orang yang menggunakan busana dengan gaya tertentu, maka dengan mudah mereka akan menularkan wabah busana yang sama pada segelintir orang di sekitarnya. Sehingga menyebabkan semakin cepat pula terbentuk generasi yang bisa dibilang “followers” alias ikut-ikutan terhadap gaya busana tersebut. Akhirnya, gaya busana itu menjadi tren dalam masyarakat. Apalagi di kalangan remaja, hal ini sering kali terjadi. 
 
Masyarakat zaman dulu, seperti orang tua, kakek-nenek, atau pun kakek nenek buyut kita memiliki pola dan mode berbusana yang berbeda jauh dari pola dan mode berbusana masyarakat zaman sekarang. Norma kesopanan pun menjadi salah satu hal konsisten yang selalu mereka pegang ketika berbusana.

Menurut ulasan berita yang dimuat dalam suatu majalah terbitan 22 tahun yang lalu (sekitar tahun 1991)disebutkan bahwa busana masyarakat Indonesia waktu itu, khususnya busana muslimah, memiliki ciri tersendiri dan banyak ragamnya. Antara lain, identik dengan selendang sutra, tenun, songket, ikat, dan bordiran yang merupakan produksi negeri sejak nenek moyang. Desain-desain khas pun lahir sejalan dengan semakin meresapnya ajaran Islam yang menyebabkan terjadinya akulturasi budaya. Akan tetapi, pada proses Indonesia merdeka yang dilanjutkan dengan tumbuh dan berkembangnya kebudayaan sebagai imbas teknologi industri, mode busana pun menjadi terpengaruhi. Seiring dengan tiupan emansipasi wanita yang berbau westernisasi, maka mode yang digemari kaum hawa adalah yang semakin mini seperti sekarang.

Tidak bisa dielak lagi, busana masyarakat Indonesia yang dulu selalu rapi, sopan, tidak neko-neko, dan tidak pula macam-macam, kini te;ah terganti dengan busana yang bisa dikatakan “vulgar” karena masyarakat justru meninggalkan dan tidak peduli terhadap etika dan nilai kesopanan ketika berbusana. Ditambah lagi, masyarakat dengan mudahnya dipengaruhi oleh media massa, terutama televisi yang tak henti dan tak tanggung-tanggung menampilkan tayangan-tayangan yang besar lekat dengan ketidaksopanan para artis dalm berbusana. Merka (artis-artis wanita) justru mengumbar anggota tubuh (aurot) mereka yang seharusnya tidak patut dijadikan tontonan. Akhirnya celana pendek di atas lutut, pakaian, maupun kaos yang ketat, tipis, transparan, dan lain semacamnya, telah menjadi busana yang wajar bagi masyarakat umum (khususnya perempuan) untuk dikenakan dalam kehidupan sehari-hari tanpa rasa malu sama sekali. Tapi akankah hl tersebut akan tetap kita pertahnkan? Entahlah. Tergantung terhadap bagaiman prinsip dan keyakinan kita masing-masing.

Mencoba atau mengenakan busana yang telah diinovasi sedemikian rupa sejalan dengan modernisasi, boleh-boleh saja dan hak bagi siapa pun, selama masih bisa menyeleksi dan memilih model busana yang sekiranya wajar, sopan, tidak membuat risih mata khalayak umum, dan tidak menjurus ke arah pornografi dan pornoaksi ketika dikenakan. Karena di era globalisasi yang tidak bisa dibendung ini, mode busana semakin menjadi-jadi dan tak karuan.

Demi mengikuti mode berbusana, masyarakat misalnya remaja, mahasiswi, dan ibu-ibu terkadang sudah tidak punya lagi rasa peduli terhadap nilai-nilai kesopanan. Hanya demi gengsi dan tren. Oleh karena itu, kepiawaian dalam menyaring setiap mode busana berinovasi yang minim dampak negatifnya, apabila jika tidak ingin dirinya ikut terjerumus ke dalam mode busana yang dianggap tidak lagi bermoral.

By. Annisa El-Shofy

Wanita

KALA WANITA HARUS MANDIRI


Malam kian larut, Rida masih berdiri mematung di samping tempat tidur anak-anaknya. Dipandanginya satu per satu wajah-wajah polos buah hatinya yang tengah terlelap. Waktu terus berjalan, tak terasa anak-anak pun kian tumbuh dan berkembang. Si sulung Shifa tak lama lagi akan meninggalkan bangku Sekolah Dasar, disusul adiknya, Salma, yang hanya terpaut usia empat belas bulan. Ramadhan, anak laki-laki satu-satunya kini telah menginjak kelas tiga SD. Sedangkan si bungsu Salsa, tahun ini seharusnya sudah masuk Taman Kanak-Kanak. Bagi Rida, in bukan kali pertama ia kesulitan memejamkan mata. Sejak suaminya meninggal enam bulan yang lalu, banyak sekali beban yang dirasakan menghimpitnya. Anak-anak yang kian besar, disamping sangat membutuhkan perhatiannya, secara finansial juga membutuhkan biaya yang lebih besar. Rida seringkali merasa khawatir tak mampu membesarkan anak-anaknya dengan baik. Rida adalah seorang ibu yang sangat peduli dengan perkembangan dan pendidikan putra-putrinya.

Tak pernah terbayangkan olehnya, kalau suaminya akan secepat itu meninggalkan dirinya dan anak-anaknya yang masih sangat membutuhkannya. Rida meras tak siap, karena selama ini urusan menafkahi keluarga tertumpu pada suaminya. Dulu Rida dengan sesuka hati memilihkan makanan sehat dan bergizi, membelikan berbagai mainan edukatif, buku-buku berkualitas, mengikutkan anaknya pada beberapa kursus yang disukainya, pergi rekreasi, dan mengikuti berbagai aktivitas lainnya yang ditujukan untuk menunjang perkembangkanfisik, mental, dan intelektual anak-anaknya. Kini Rida tak bisa sebebas itu lagi. Ia harus begitu hemat dan cermat dalam mengeluarkan rupiah demi rupiah.

Tak ada uang pensiun yang ditinggalkan suaminya, hanya uang tunjangan dari perusahaannya serta sedikit uang tabungannya. Sebagai seorang ibu rumah tangga yang terbiasa menggantungkan hidup pada sang suami, tentu saja Rida merasa kelimpungan. Meminta bantuan orang tua atau mertua tentu bukan pilihan yang menyenangkan, karena disamping keadaan mereka yang biasa-biasa saja juga Rida merasa tak pantas. Berusaha mandiri, itulah pilihan yang tepat. Tapi itu tak mudah, disamping tak terbiasa, Rida juga tak memiliki keterampilan khusus yang bisa diandalkan untuk menopang hidup keluarganya. Dari mana dan bagaimana ia hars memulai.

Kasus pelik yang dialami Rida merupakan hal yang juga dialami oleh sebagian wanita yang bernasib kurang beruntung. Siapa sangka pasangn hidup meninggal dunia atau menceraikan karena suatu sebab. Atau penghasilan suaminya tak cukup memadai. Siapa yang menginginkan hal itu terjadi? Takdir pun tak bisa diajak kompromi. Hidup harus terus diperjuangkan dan harus bertahan.

Nafkah dalam Islam
Dalam Islam, persoalan menafkahi keluarga telah diatur dengan sangat jelas. Suami sebagai kepala keluarga berkewajiban untuk menafkahi keluarga. Dalam Al-Qur’an Surat Ath-Thalaq (65) ayat 7, telah dikatakan bahwa, “Hendaklah suami yang berkemampuan, memberikan nafkah sesuai kemampuannya”. Ayat lain pada QS. Al-Baqarah(2):233 juga mengatakan bahwa, “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selam dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya, dan ayah berkewajiban memberi makan dan pakaian kepada ibu-ibu tersebut dengan cara yang wajar”. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, sangat jelas dikatakan bahwa suamilah yang dituntut untuk menafkahi keluarganya, baik dalam hal pangan maupun sandang. Tempat tinggal juga menjadi tanggung jawab suami untuk menyediakannya.

Tempatkanlah mereka-mereka (istri-istri) di tempat kamu tinggal sesuai dengan kemampuan kamu (menyediakannya), tetapi janganlah kamu membahayakan mereka karena kamu bermaksud menyusahkan mereka” (QS. Ath-Thalaq(65):6).

Demikianlah secara normatif Islam telah mengaturnya dengan adil. Wanita memiliki tugas reproduksi yang tak bisa diprtukarkan dengan pria, tidak dibebani kewajiban dalam hal memenuhi kebutuhan keluarga. Namun ada kalanya hal yang tidak diinginkan terjadi, sebagaimana kasus yang dialami Rida. Dengan demikian, meski beban mencari nafkah ada pada suami, bukan berarti anita tak penting untuk mengasah bakat atau mengembangkan potensinya untuk kemudian bekerja membantu mencarikan nafkah. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pada zaman Rasulullah para wanita turut aktif dalam kegiatan muamalah dan kegiatan kemasyarakatan umum, bahkan ada yang ikut dalam peperangan.

Zainab, istri Ibnu Mas’ud berusaha sendiri serta menafkahi suami dan anak yatim, ketika hal itu ditanyakan pada Rasulullah, maka Rasulullah mengatakan bahwa yang demikian itu sah.

Khadijah, istri Rasulullah sendiri juga adalah seorang pengusaha profesional, bahkan Nabi Muhammad pun pernah menjadi karyawannya. Peran Khadijah sangat besar dalam menunjang perjuangan Nabi. Banyak kisah-kisah pada zaman Rasulullah yang menggambarkan keikutsertaan para wanita dalm menghidupkan keluarganya, baik dalam bidang peternakan, pertanian, maupun perdagangan. Bahkan Al-Qur’an mengisahkan tentang dua anak gadis Nabi Syuaib yang bekerja di luar rumah sebagai gembala ternak milik ayahnya. Dalm keadaan memaksa, anak laki-laki maupun perempuan sama-sama berkewajiban membantu ayahnya (keluarganya) yang tidak mampu.

Wanita dan Dunia Kerja
Peta kemiskinan dunia menunjukkan bahwa banyak keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan adalah golongan yang menjadi kepala kelarganya adalah wanita. Hal ini menggambarkan bahwa banyak ibu yang tak siap menjadi pencari nafkah ketika ditinggal suami. Padahal apabila wanita (ibu) dalam satu keluarga tertentu berada dalam kondisi “miskin”, baik pendidikan, pengetahuan, maupun pengalaman, maka besar kemungkinan keluarga yang dibentuknya akan “miskin” juga, seperti yang ditulis Harrel R. Rodges dalam buku Poor Woman Poor Families. Satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa di berbagai belahan bumi manapun, pendidikan bagi anak perempuan masih dinomorduakan.

Profesionalime yang kurang mengakibatkan terpinggirkannyawanita dalam dunia kerja. Sektor-sektor yang bisa direngkuh kebanyakan dalam sektor domestik, seperti pramuwisma atau buruh pabrik-pabrik. Bekerja, khususnya jika di luar rumah, di sisi lain juga menimbulkan sisi-sisi negatif. Di samping secara psikologis menimbulkan rasa bersalah di hati para ibu karena telah meninggalkan anak-anaknya, juga masalah sosial seperti adanya pelecehan seksual, baik dari atasan rekan sekerja. Selain itu ditinjau dari segi penghasilan, upah wanita cenderung lebih kecil dibanding pria. Para “feminis” menganjurkan wanita bekerja karena menganggap bahwa kekerasan dan ketertindasan wanita (istri) oleh kaum lelaki (suami), karena lemahnya posisi wanita dalam hal ekonomi keluarga. Ketergantungan istri dalam segi keuangan terhadap suami menimbulkan tindak kesewenang-wenangan para suami. Namun fenomena lain cukup menarik terjadi di Amerika Serikat. Umumnya pada pasangan suami istri di AS sebagian besar istrinya bekerja. Akan tetapi data statistik di sana menunjukkan bahwa tiap 9 menit terjadi kekerasan fisik terhadap wanita, 25% perempuan yang terbunuh adalah dibunuh oleh pasangan suaminya. Kekerasan dalam rumah tangga di AS merupakan bahaya terbesar -meski tersembunyi- bagi para istri dibanding bahaya perampokan dan pencurian. Hal ini menunjukkan bahwa wanita bekerja bukan merupakan solusi terhadap tindak kekerasan para suami terhadap istri. Dengan kata lain, janganlah wanita bekerja karena takut diremehkan atau diperlakukan kasar oleh suami.

Menjadi ibu rumah tangga bagaimanapun merupakan tugas mulia. Pekerjaan rumah tangga tidak bisa dinilai remeh. Jika pekerjaan rumah tangga ditambahkan ke dalam angka-angka bagi GNP global, maka diperkirakan angka GNP global tersebut akan meningkat sekitar sepertiganya. Kajian terakhir tentang wanita menunjukkan bahwa perempuan selalu penting secara ekonomi, dan kerja yang dilakukan dalam rumah tangga sangat mendasar untuk mempertahankan masyarakatnya. Namun kembali pada masalah semula, ada kalanya wanita harus bekerja untuk memenuhi tuntutan kebutuhan keluarga. Dalam hal ini diperlukan tumbuhnya kemandirian dan kekuatan intelektual untuk mengatasi masalah tersebut. Wanita perlu membekali dirinya dengan pengetahuan dan keterampilan agar bisa dipergunakan dalam kehidupan runah tangganya.

Pada dasarnya, bekerja bagi wanita Indonesia sudah merupakan tradisi turun-menurun. Sudah sejak dulu para istri membantu di ladang atau di sawah. Namun kehidupan pada masa kini memberikan tawaran yang sangat luas bagi wanita. Penting digarisbawahi bahwa wanita, khususnya muslimah harus selektif dalam menentukan jenis pekerjaan yang akan digeluti. Perlu diperhatikan dampak negatifnya, juga bidang yang sesuai dengan kodratnya, dan secara syariat juga perlu diperhatikan. Beberapa pilihan pekerjaan bisa dilakukan di dalam rumah. Bagaimanapun tugas utama seorang ibu adalah ibu rumah tangga. Bekerja bukan bertujuan untuk mencari kebebasan. Ketika seorang sahabat Rasul menanyakan bolehkah bibinya yang diceraikan suaminya hendak memanen kurma pada masa ‘iddahnya. Rasulullah menjawab, “Tidak apa-apa, potonglah buah kurmamu. Barangkali dengan begitu kamu biasa bersedekah atau melakukan suatu kebajikan” (HR. Muslim). Zainab binti Jahsy adalah ahli dalam menyamak dan menjahit kulit dan dengan hasil usahanya itu dia bersedekah di jalan Allah. Suatu hari Aisyah r.a. berkata, “Ternyata yang terpanjang tangannya di antara kami adalah Zainab, sebab dia sudah terbiasa berusaha dengan tangannya sendiri dan bersedekah” (HR. Muslim).

Oleh karena itu ketika seorang wanita bekerja, hendaklah tujuannya semata-mata hanya untuk melakuka kebajikan. Dengan demikian akan mendapatkan manfaat

By. Annisa El-ShofyKALA WANITA HARUS MANDIRI
Malam kian larut, Rida masih berdiri mematung di samping tempat tidur anak-anaknya. Dipandanginya satu per satu wajah-wajah polos buah hatinya yang tengah terlelap. Waktu terus berjalan, tak terasa anak-anak pun kian tumbuh dan berkembang. Si sulung Shifa tak lama lagi akan meninggalkan bangku Sekolah Dasar, disusul adiknya, Salma, yang hanya terpaut usia empat belas bulan. Ramadhan, anak laki-laki satu-satunya kini telah menginjak kelas tiga SD. Sedangkan si bungsu Salsa, tahun ini seharusnya sudah masuk Taman Kanak-Kanak. Bagi Rida, in bukan kali pertama ia kesulitan memejamkan mata. Sejak suaminya meninggal enam bulan yang lalu, banyak sekali beban yang dirasakan menghimpitnya. Anak-anak yang kian besar, disamping sangat membutuhkan perhatiannya, secara finansial juga membutuhkan biaya yang lebih besar. Rida seringkali merasa khawatir tak mampu membesarkan anak-anaknya dengan baik. Rida adalah seorang ibu yang sangat peduli dengan perkembangan dan pendidikan putra-putrinya.

Tak pernah terbayangkan olehnya, kalau suaminya akan secepat itu meninggalkan dirinya dan anak-anaknya yang masih sangat membutuhkannya. Rida meras tak siap, karena selama ini urusan menafkahi keluarga tertumpu pada suaminya. Dulu Rida dengan sesuka hati memilihkan makanan sehat dan bergizi, membelikan berbagai mainan edukatif, buku-buku berkualitas, mengikutkan anaknya pada beberapa kursus yang disukainya, pergi rekreasi, dan mengikuti berbagai aktivitas lainnya yang ditujukan untuk menunjang perkembangkanfisik, mental, dan intelektual anak-anaknya. Kini Rida tak bisa sebebas itu lagi. Ia harus begitu hemat dan cermat dalam mengeluarkan rupiah demi rupiah.

Tak ada uang pensiun yang ditinggalkan suaminya, hanya uang tunjangan dari perusahaannya serta sedikit uang tabungannya. Sebagai seorang ibu rumah tangga yang terbiasa menggantungkan hidup pada sang suami, tentu saja Rida merasa kelimpungan. Meminta bantuan orang tua atau mertua tentu bukan pilihan yang menyenangkan, karena disamping keadaan mereka yang biasa-biasa saja juga Rida merasa tak pantas. Berusaha mandiri, itulah pilihan yang tepat. Tapi itu tak mudah, disamping tak terbiasa, Rida juga tak memiliki keterampilan khusus yang bisa diandalkan untuk menopang hidup keluarganya. Dari mana dan bagaimana ia hars memulai.

Kasus pelik yang dialami Rida merupakan hal yang juga dialami oleh sebagian wanita yang bernasib kurang beruntung. Siapa sangka pasangn hidup meninggal dunia atau menceraikan karena suatu sebab. Atau penghasilan suaminya tak cukup memadai. Siapa yang menginginkan hal itu terjadi? Takdir pun tak bisa diajak kompromi. Hidup harus terus diperjuangkan dan harus bertahan.

Nafkah dalam Islam
Dalam Islam, persoalan menafkahi keluarga telah diatur dengan sangat jelas. Suami sebagai kepala keluarga berkewajiban untuk menafkahi keluarga. Dalam Al-Qur’an Surat Ath-Thalaq (65) ayat 7, telah dikatakan bahwa, “Hendaklah suami yang berkemampuan, memberikan nafkah sesuai kemampuannya”. Ayat lain pada QS. Al-Baqarah(2):233 juga mengatakan bahwa, “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selam dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya, dan ayah berkewajiban memberi makan dan pakaian kepada ibu-ibu tersebut dengan cara yang wajar”. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, sangat jelas dikatakan bahwa suamilah yang dituntut untuk menafkahi keluarganya, baik dalam hal pangan maupun sandang. Tempat tinggal juga menjadi tanggung jawab suami untuk menyediakannya.

Tempatkanlah mereka-mereka (istri-istri) di tempat kamu tinggal sesuai dengan kemampuan kamu (menyediakannya), tetapi janganlah kamu membahayakan mereka karena kamu bermaksud menyusahkan mereka” (QS. Ath-Thalaq(65):6).

Demikianlah secara normatif Islam telah mengaturnya dengan adil. Wanita memiliki tugas reproduksi yang tak bisa diprtukarkan dengan pria, tidak dibebani kewajiban dalam hal memenuhi kebutuhan keluarga. Namun ada kalanya hal yang tidak diinginkan terjadi, sebagaimana kasus yang dialami Rida. Dengan demikian, meski beban mencari nafkah ada pada suami, bukan berarti anita tak penting untuk mengasah bakat atau mengembangkan potensinya untuk kemudian bekerja membantu mencarikan nafkah. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pada zaman Rasulullah para wanita turut aktif dalam kegiatan muamalah dan kegiatan kemasyarakatan umum, bahkan ada yang ikut dalam peperangan.

Zainab, istri Ibnu Mas’ud berusaha sendiri serta menafkahi suami dan anak yatim, ketika hal itu ditanyakan pada Rasulullah, maka Rasulullah mengatakan bahwa yang demikian itu sah.

Khadijah, istri Rasulullah sendiri juga adalah seorang pengusaha profesional, bahkan Nabi Muhammad pun pernah menjadi karyawannya. Peran Khadijah sangat besar dalam menunjang perjuangan Nabi. Banyak kisah-kisah pada zaman Rasulullah yang menggambarkan keikutsertaan para wanita dalm menghidupkan keluarganya, baik dalam bidang peternakan, pertanian, maupun perdagangan. Bahkan Al-Qur’an mengisahkan tentang dua anak gadis Nabi Syuaib yang bekerja di luar rumah sebagai gembala ternak milik ayahnya. Dalm keadaan memaksa, anak laki-laki maupun perempuan sama-sama berkewajiban membantu ayahnya (keluarganya) yang tidak mampu.

Wanita dan Dunia Kerja
Peta kemiskinan dunia menunjukkan bahwa banyak keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan adalah golongan yang menjadi kepala kelarganya adalah wanita. Hal ini menggambarkan bahwa banyak ibu yang tak siap menjadi pencari nafkah ketika ditinggal suami. Padahal apabila wanita (ibu) dalam satu keluarga tertentu berada dalam kondisi “miskin”, baik pendidikan, pengetahuan, maupun pengalaman, maka besar kemungkinan keluarga yang dibentuknya akan “miskin” juga, seperti yang ditulis Harrel R. Rodges dalam buku Poor Woman Poor Families. Satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa di berbagai belahan bumi manapun, pendidikan bagi anak perempuan masih dinomorduakan.

Profesionalime yang kurang mengakibatkan terpinggirkannyawanita dalam dunia kerja. Sektor-sektor yang bisa direngkuh kebanyakan dalam sektor domestik, seperti pramuwisma atau buruh pabrik-pabrik. Bekerja, khususnya jika di luar rumah, di sisi lain juga menimbulkan sisi-sisi negatif. Di samping secara psikologis menimbulkan rasa bersalah di hati para ibu karena telah meninggalkan anak-anaknya, juga masalah sosial seperti adanya pelecehan seksual, baik dari atasan rekan sekerja. Selain itu ditinjau dari segi penghasilan, upah wanita cenderung lebih kecil dibanding pria. Para “feminis” menganjurkan wanita bekerja karena menganggap bahwa kekerasan dan ketertindasan wanita (istri) oleh kaum lelaki (suami), karena lemahnya posisi wanita dalam hal ekonomi keluarga. Ketergantungan istri dalam segi keuangan terhadap suami menimbulkan tindak kesewenang-wenangan para suami. Namun fenomena lain cukup menarik terjadi di Amerika Serikat. Umumnya pada pasangan suami istri di AS sebagian besar istrinya bekerja. Akan tetapi data statistik di sana menunjukkan bahwa tiap 9 menit terjadi kekerasan fisik terhadap wanita, 25% perempuan yang terbunuh adalah dibunuh oleh pasangan suaminya. Kekerasan dalam rumah tangga di AS merupakan bahaya terbesar -meski tersembunyi- bagi para istri dibanding bahaya perampokan dan pencurian. Hal ini menunjukkan bahwa wanita bekerja bukan merupakan solusi terhadap tindak kekerasan para suami terhadap istri. Dengan kata lain, janganlah wanita bekerja karena takut diremehkan atau diperlakukan kasar oleh suami.

Menjadi ibu rumah tangga bagaimanapun merupakan tugas mulia. Pekerjaan rumah tangga tidak bisa dinilai remeh. Jika pekerjaan rumah tangga ditambahkan ke dalam angka-angka bagi GNP global, maka diperkirakan angka GNP global tersebut akan meningkat sekitar sepertiganya. Kajian terakhir tentang wanita menunjukkan bahwa perempuan selalu penting secara ekonomi, dan kerja yang dilakukan dalam rumah tangga sangat mendasar untuk mempertahankan masyarakatnya. Namun kembali pada masalah semula, ada kalanya wanita harus bekerja untuk memenuhi tuntutan kebutuhan keluarga. Dalam hal ini diperlukan tumbuhnya kemandirian dan kekuatan intelektual untuk mengatasi masalah tersebut. Wanita perlu membekali dirinya dengan pengetahuan dan keterampilan agar bisa dipergunakan dalam kehidupan runah tangganya.

Pada dasarnya, bekerja bagi wanita Indonesia sudah merupakan tradisi turun-menurun. Sudah sejak dulu para istri membantu di ladang atau di sawah. Namun kehidupan pada masa kini memberikan tawaran yang sangat luas bagi wanita. Penting digarisbawahi bahwa wanita, khususnya muslimah harus selektif dalam menentukan jenis pekerjaan yang akan digeluti. Perlu diperhatikan dampak negatifnya, juga bidang yang sesuai dengan kodratnya, dan secara syariat juga perlu diperhatikan. Beberapa pilihan pekerjaan bisa dilakukan di dalam rumah. Bagaimanapun tugas utama seorang ibu adalah ibu rumah tangga. Bekerja bukan bertujuan untuk mencari kebebasan. Ketika seorang sahabat Rasul menanyakan bolehkah bibinya yang diceraikan suaminya hendak memanen kurma pada masa ‘iddahnya. Rasulullah menjawab, “Tidak apa-apa, potonglah buah kurmamu. Barangkali dengan begitu kamu biasa bersedekah atau melakukan suatu kebajikan” (HR. Muslim). Zainab binti Jahsy adalah ahli dalam menyamak dan menjahit kulit dan dengan hasil usahanya itu dia bersedekah di jalan Allah. Suatu hari Aisyah r.a. berkata, “Ternyata yang terpanjang tangannya di antara kami adalah Zainab, sebab dia sudah terbiasa berusaha dengan tangannya sendiri dan bersedekah” (HR. Muslim).

Oleh karena itu ketika seorang wanita bekerja, hendaklah tujuannya semata-mata hanya untuk melakuka kebajikan. Dengan demikian akan mendapatkan manfaat

By. Annisa El-Shofy

Jumat, 22 Februari 2013

RemajaIslam

Mewujudkan Pendidikan Islam pada Masyarakat Global

Pada era globalisasi ini, semua orang tahu bahwa zaman semakin maju dan apapun yang dilakukan manusia haruslah modern. Ada saja yang dilakukan. Diantaranya dengan menggunakan alat-alat model teknologi mutakhir untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Bahkan, budaya, gaya hidup, sikap, dan tingkah laku yang dianut sekarang pun telah terpengaruh oleh arus globalisasi. Akibatnya, banyak orang-orang yang tidak menghargai ragam budaya daerahnya dan tidak mengindahkan ajaran agamanya.
Sebagai contoh adalah umat Islam sendiri. Di zaman ini, seharusnya umat Islam berkewajiban untuk mengajak umat Islam lainnya kepada kebaikan dan sebagai siswa seharusnya kita belajar dengan tekun. Baik pelajaran umum maupun pelajaran  agama. Namun kenyataannya, sekarang ini banyak siswa, bahkan mungkin guru yang menyepelekan pelajaran agama. Mereka beranggapan bahwa pelajaran  agama itu tidak terlalu penting karena bias ibadah-ibadah wajib saja dirasa sudah cukup. Padahal, ibadah-ibadah yang sunnah pun seharusnya juga dilakukan. Serta tingkah laku pun harus sesuai dengan ajaran  agama. Belum lagi apabila secara sedikit demi sedikit, keyakinan dan keimanan kita tergadaikan oleh teknologi yang canggih. Bagaimana nasib  agama Islam yang kaffah?
Untuk mengetahui itu semua, pastilah diperlukan suatu ilmu,  yaitu ilmu agama. Seharusnya, semua muslim harus dibimbing dengan ilmu  agama sejak dini. Menuntut ilmu agama tidak hanya dilakukan pada saat pelajaran agama saja. Mengingat jam pelajaran agama di lingkungan pendidikan normal sangat minim, maka seharusnya sebagai muslim baik tua, muda, laki-laki, maupun perempuan mengkaji ilmu agama juga melalui lembaga-lembaga nonformal, seperti kajian Islam, pengajian-pengajian yang disiarkan melalui TV maupun radio, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Seharusnya tidak hanya guru agama saja yang memberikan bimbingan agama terhadap muridnya, melainkan semua gurulah yang berkewajiban memberikan pengarahan pada muridnya tentang ilmu  agama. Seperti mengenai tingkah laku dalam melakukan sesuatu. Sehingga jika semua guru melakukan hal tersebut, lama-kelamaan siswa akan termotivasi untuk berbuat sesuai syariat Islam.
Selain itu, dukungan dari orang tua pun sangat penting. Karena pada akhirnya, kehidupan seorang anak adalah dengan orang tuanya sendiri. Contohnya saja saat di sekolah seorang siswi memakai jilbab karena peraturan sekolah. Namun ketika di rumah ia melepas jilbabnya.  Hal ini dikarenakan siswa tersebut menganggap bahwa jilbab tersebut hanyalah sepasang seragam yang wajib dipatuhi. Nah, di sinilah peran penting orang tua untuk menasihati dan mengingatkan anaknya.
Namun pada akhirnya, semuanya kembali pada diri kita masing-masing. Karena semua yang telah disebutkan di atas adalah factor ekstern pembentukan sikap kita sebagai remaja muslim. Dan factor intern terletak pada pribadi dan kesadaran kita masing-masing. Tinggal kita mau atau tidak menerima hidayah dari Allah. Maka dari itu,  sebagai siswa, khususnya siswa madrasah yang bercirikan Islami,  hendaklah memiliki kesadaran untuk bersikap Islami pula.
Selain itu, manfaatkanlah waktu yang ada untuk menuntut ilmu dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Serta dengarkanlah nasihat guru demi orang tua, karena semua demi kebaikanmu sendiri. Sehingga Insya Allah, kita semua menjadi remaja muslim yang menguasai dunia tanpa mengabaikan kaidah Islam.

By.Annisa El-Shofy