Sabtu, 23 Februari 2013

Wanita

KALA WANITA HARUS MANDIRI


Malam kian larut, Rida masih berdiri mematung di samping tempat tidur anak-anaknya. Dipandanginya satu per satu wajah-wajah polos buah hatinya yang tengah terlelap. Waktu terus berjalan, tak terasa anak-anak pun kian tumbuh dan berkembang. Si sulung Shifa tak lama lagi akan meninggalkan bangku Sekolah Dasar, disusul adiknya, Salma, yang hanya terpaut usia empat belas bulan. Ramadhan, anak laki-laki satu-satunya kini telah menginjak kelas tiga SD. Sedangkan si bungsu Salsa, tahun ini seharusnya sudah masuk Taman Kanak-Kanak. Bagi Rida, in bukan kali pertama ia kesulitan memejamkan mata. Sejak suaminya meninggal enam bulan yang lalu, banyak sekali beban yang dirasakan menghimpitnya. Anak-anak yang kian besar, disamping sangat membutuhkan perhatiannya, secara finansial juga membutuhkan biaya yang lebih besar. Rida seringkali merasa khawatir tak mampu membesarkan anak-anaknya dengan baik. Rida adalah seorang ibu yang sangat peduli dengan perkembangan dan pendidikan putra-putrinya.

Tak pernah terbayangkan olehnya, kalau suaminya akan secepat itu meninggalkan dirinya dan anak-anaknya yang masih sangat membutuhkannya. Rida meras tak siap, karena selama ini urusan menafkahi keluarga tertumpu pada suaminya. Dulu Rida dengan sesuka hati memilihkan makanan sehat dan bergizi, membelikan berbagai mainan edukatif, buku-buku berkualitas, mengikutkan anaknya pada beberapa kursus yang disukainya, pergi rekreasi, dan mengikuti berbagai aktivitas lainnya yang ditujukan untuk menunjang perkembangkanfisik, mental, dan intelektual anak-anaknya. Kini Rida tak bisa sebebas itu lagi. Ia harus begitu hemat dan cermat dalam mengeluarkan rupiah demi rupiah.

Tak ada uang pensiun yang ditinggalkan suaminya, hanya uang tunjangan dari perusahaannya serta sedikit uang tabungannya. Sebagai seorang ibu rumah tangga yang terbiasa menggantungkan hidup pada sang suami, tentu saja Rida merasa kelimpungan. Meminta bantuan orang tua atau mertua tentu bukan pilihan yang menyenangkan, karena disamping keadaan mereka yang biasa-biasa saja juga Rida merasa tak pantas. Berusaha mandiri, itulah pilihan yang tepat. Tapi itu tak mudah, disamping tak terbiasa, Rida juga tak memiliki keterampilan khusus yang bisa diandalkan untuk menopang hidup keluarganya. Dari mana dan bagaimana ia hars memulai.

Kasus pelik yang dialami Rida merupakan hal yang juga dialami oleh sebagian wanita yang bernasib kurang beruntung. Siapa sangka pasangn hidup meninggal dunia atau menceraikan karena suatu sebab. Atau penghasilan suaminya tak cukup memadai. Siapa yang menginginkan hal itu terjadi? Takdir pun tak bisa diajak kompromi. Hidup harus terus diperjuangkan dan harus bertahan.

Nafkah dalam Islam
Dalam Islam, persoalan menafkahi keluarga telah diatur dengan sangat jelas. Suami sebagai kepala keluarga berkewajiban untuk menafkahi keluarga. Dalam Al-Qur’an Surat Ath-Thalaq (65) ayat 7, telah dikatakan bahwa, “Hendaklah suami yang berkemampuan, memberikan nafkah sesuai kemampuannya”. Ayat lain pada QS. Al-Baqarah(2):233 juga mengatakan bahwa, “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selam dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya, dan ayah berkewajiban memberi makan dan pakaian kepada ibu-ibu tersebut dengan cara yang wajar”. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, sangat jelas dikatakan bahwa suamilah yang dituntut untuk menafkahi keluarganya, baik dalam hal pangan maupun sandang. Tempat tinggal juga menjadi tanggung jawab suami untuk menyediakannya.

Tempatkanlah mereka-mereka (istri-istri) di tempat kamu tinggal sesuai dengan kemampuan kamu (menyediakannya), tetapi janganlah kamu membahayakan mereka karena kamu bermaksud menyusahkan mereka” (QS. Ath-Thalaq(65):6).

Demikianlah secara normatif Islam telah mengaturnya dengan adil. Wanita memiliki tugas reproduksi yang tak bisa diprtukarkan dengan pria, tidak dibebani kewajiban dalam hal memenuhi kebutuhan keluarga. Namun ada kalanya hal yang tidak diinginkan terjadi, sebagaimana kasus yang dialami Rida. Dengan demikian, meski beban mencari nafkah ada pada suami, bukan berarti anita tak penting untuk mengasah bakat atau mengembangkan potensinya untuk kemudian bekerja membantu mencarikan nafkah. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pada zaman Rasulullah para wanita turut aktif dalam kegiatan muamalah dan kegiatan kemasyarakatan umum, bahkan ada yang ikut dalam peperangan.

Zainab, istri Ibnu Mas’ud berusaha sendiri serta menafkahi suami dan anak yatim, ketika hal itu ditanyakan pada Rasulullah, maka Rasulullah mengatakan bahwa yang demikian itu sah.

Khadijah, istri Rasulullah sendiri juga adalah seorang pengusaha profesional, bahkan Nabi Muhammad pun pernah menjadi karyawannya. Peran Khadijah sangat besar dalam menunjang perjuangan Nabi. Banyak kisah-kisah pada zaman Rasulullah yang menggambarkan keikutsertaan para wanita dalm menghidupkan keluarganya, baik dalam bidang peternakan, pertanian, maupun perdagangan. Bahkan Al-Qur’an mengisahkan tentang dua anak gadis Nabi Syuaib yang bekerja di luar rumah sebagai gembala ternak milik ayahnya. Dalm keadaan memaksa, anak laki-laki maupun perempuan sama-sama berkewajiban membantu ayahnya (keluarganya) yang tidak mampu.

Wanita dan Dunia Kerja
Peta kemiskinan dunia menunjukkan bahwa banyak keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan adalah golongan yang menjadi kepala kelarganya adalah wanita. Hal ini menggambarkan bahwa banyak ibu yang tak siap menjadi pencari nafkah ketika ditinggal suami. Padahal apabila wanita (ibu) dalam satu keluarga tertentu berada dalam kondisi “miskin”, baik pendidikan, pengetahuan, maupun pengalaman, maka besar kemungkinan keluarga yang dibentuknya akan “miskin” juga, seperti yang ditulis Harrel R. Rodges dalam buku Poor Woman Poor Families. Satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa di berbagai belahan bumi manapun, pendidikan bagi anak perempuan masih dinomorduakan.

Profesionalime yang kurang mengakibatkan terpinggirkannyawanita dalam dunia kerja. Sektor-sektor yang bisa direngkuh kebanyakan dalam sektor domestik, seperti pramuwisma atau buruh pabrik-pabrik. Bekerja, khususnya jika di luar rumah, di sisi lain juga menimbulkan sisi-sisi negatif. Di samping secara psikologis menimbulkan rasa bersalah di hati para ibu karena telah meninggalkan anak-anaknya, juga masalah sosial seperti adanya pelecehan seksual, baik dari atasan rekan sekerja. Selain itu ditinjau dari segi penghasilan, upah wanita cenderung lebih kecil dibanding pria. Para “feminis” menganjurkan wanita bekerja karena menganggap bahwa kekerasan dan ketertindasan wanita (istri) oleh kaum lelaki (suami), karena lemahnya posisi wanita dalam hal ekonomi keluarga. Ketergantungan istri dalam segi keuangan terhadap suami menimbulkan tindak kesewenang-wenangan para suami. Namun fenomena lain cukup menarik terjadi di Amerika Serikat. Umumnya pada pasangan suami istri di AS sebagian besar istrinya bekerja. Akan tetapi data statistik di sana menunjukkan bahwa tiap 9 menit terjadi kekerasan fisik terhadap wanita, 25% perempuan yang terbunuh adalah dibunuh oleh pasangan suaminya. Kekerasan dalam rumah tangga di AS merupakan bahaya terbesar -meski tersembunyi- bagi para istri dibanding bahaya perampokan dan pencurian. Hal ini menunjukkan bahwa wanita bekerja bukan merupakan solusi terhadap tindak kekerasan para suami terhadap istri. Dengan kata lain, janganlah wanita bekerja karena takut diremehkan atau diperlakukan kasar oleh suami.

Menjadi ibu rumah tangga bagaimanapun merupakan tugas mulia. Pekerjaan rumah tangga tidak bisa dinilai remeh. Jika pekerjaan rumah tangga ditambahkan ke dalam angka-angka bagi GNP global, maka diperkirakan angka GNP global tersebut akan meningkat sekitar sepertiganya. Kajian terakhir tentang wanita menunjukkan bahwa perempuan selalu penting secara ekonomi, dan kerja yang dilakukan dalam rumah tangga sangat mendasar untuk mempertahankan masyarakatnya. Namun kembali pada masalah semula, ada kalanya wanita harus bekerja untuk memenuhi tuntutan kebutuhan keluarga. Dalam hal ini diperlukan tumbuhnya kemandirian dan kekuatan intelektual untuk mengatasi masalah tersebut. Wanita perlu membekali dirinya dengan pengetahuan dan keterampilan agar bisa dipergunakan dalam kehidupan runah tangganya.

Pada dasarnya, bekerja bagi wanita Indonesia sudah merupakan tradisi turun-menurun. Sudah sejak dulu para istri membantu di ladang atau di sawah. Namun kehidupan pada masa kini memberikan tawaran yang sangat luas bagi wanita. Penting digarisbawahi bahwa wanita, khususnya muslimah harus selektif dalam menentukan jenis pekerjaan yang akan digeluti. Perlu diperhatikan dampak negatifnya, juga bidang yang sesuai dengan kodratnya, dan secara syariat juga perlu diperhatikan. Beberapa pilihan pekerjaan bisa dilakukan di dalam rumah. Bagaimanapun tugas utama seorang ibu adalah ibu rumah tangga. Bekerja bukan bertujuan untuk mencari kebebasan. Ketika seorang sahabat Rasul menanyakan bolehkah bibinya yang diceraikan suaminya hendak memanen kurma pada masa ‘iddahnya. Rasulullah menjawab, “Tidak apa-apa, potonglah buah kurmamu. Barangkali dengan begitu kamu biasa bersedekah atau melakukan suatu kebajikan” (HR. Muslim). Zainab binti Jahsy adalah ahli dalam menyamak dan menjahit kulit dan dengan hasil usahanya itu dia bersedekah di jalan Allah. Suatu hari Aisyah r.a. berkata, “Ternyata yang terpanjang tangannya di antara kami adalah Zainab, sebab dia sudah terbiasa berusaha dengan tangannya sendiri dan bersedekah” (HR. Muslim).

Oleh karena itu ketika seorang wanita bekerja, hendaklah tujuannya semata-mata hanya untuk melakuka kebajikan. Dengan demikian akan mendapatkan manfaat

By. Annisa El-ShofyKALA WANITA HARUS MANDIRI
Malam kian larut, Rida masih berdiri mematung di samping tempat tidur anak-anaknya. Dipandanginya satu per satu wajah-wajah polos buah hatinya yang tengah terlelap. Waktu terus berjalan, tak terasa anak-anak pun kian tumbuh dan berkembang. Si sulung Shifa tak lama lagi akan meninggalkan bangku Sekolah Dasar, disusul adiknya, Salma, yang hanya terpaut usia empat belas bulan. Ramadhan, anak laki-laki satu-satunya kini telah menginjak kelas tiga SD. Sedangkan si bungsu Salsa, tahun ini seharusnya sudah masuk Taman Kanak-Kanak. Bagi Rida, in bukan kali pertama ia kesulitan memejamkan mata. Sejak suaminya meninggal enam bulan yang lalu, banyak sekali beban yang dirasakan menghimpitnya. Anak-anak yang kian besar, disamping sangat membutuhkan perhatiannya, secara finansial juga membutuhkan biaya yang lebih besar. Rida seringkali merasa khawatir tak mampu membesarkan anak-anaknya dengan baik. Rida adalah seorang ibu yang sangat peduli dengan perkembangan dan pendidikan putra-putrinya.

Tak pernah terbayangkan olehnya, kalau suaminya akan secepat itu meninggalkan dirinya dan anak-anaknya yang masih sangat membutuhkannya. Rida meras tak siap, karena selama ini urusan menafkahi keluarga tertumpu pada suaminya. Dulu Rida dengan sesuka hati memilihkan makanan sehat dan bergizi, membelikan berbagai mainan edukatif, buku-buku berkualitas, mengikutkan anaknya pada beberapa kursus yang disukainya, pergi rekreasi, dan mengikuti berbagai aktivitas lainnya yang ditujukan untuk menunjang perkembangkanfisik, mental, dan intelektual anak-anaknya. Kini Rida tak bisa sebebas itu lagi. Ia harus begitu hemat dan cermat dalam mengeluarkan rupiah demi rupiah.

Tak ada uang pensiun yang ditinggalkan suaminya, hanya uang tunjangan dari perusahaannya serta sedikit uang tabungannya. Sebagai seorang ibu rumah tangga yang terbiasa menggantungkan hidup pada sang suami, tentu saja Rida merasa kelimpungan. Meminta bantuan orang tua atau mertua tentu bukan pilihan yang menyenangkan, karena disamping keadaan mereka yang biasa-biasa saja juga Rida merasa tak pantas. Berusaha mandiri, itulah pilihan yang tepat. Tapi itu tak mudah, disamping tak terbiasa, Rida juga tak memiliki keterampilan khusus yang bisa diandalkan untuk menopang hidup keluarganya. Dari mana dan bagaimana ia hars memulai.

Kasus pelik yang dialami Rida merupakan hal yang juga dialami oleh sebagian wanita yang bernasib kurang beruntung. Siapa sangka pasangn hidup meninggal dunia atau menceraikan karena suatu sebab. Atau penghasilan suaminya tak cukup memadai. Siapa yang menginginkan hal itu terjadi? Takdir pun tak bisa diajak kompromi. Hidup harus terus diperjuangkan dan harus bertahan.

Nafkah dalam Islam
Dalam Islam, persoalan menafkahi keluarga telah diatur dengan sangat jelas. Suami sebagai kepala keluarga berkewajiban untuk menafkahi keluarga. Dalam Al-Qur’an Surat Ath-Thalaq (65) ayat 7, telah dikatakan bahwa, “Hendaklah suami yang berkemampuan, memberikan nafkah sesuai kemampuannya”. Ayat lain pada QS. Al-Baqarah(2):233 juga mengatakan bahwa, “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selam dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya, dan ayah berkewajiban memberi makan dan pakaian kepada ibu-ibu tersebut dengan cara yang wajar”. Berdasarkan ayat-ayat tersebut, sangat jelas dikatakan bahwa suamilah yang dituntut untuk menafkahi keluarganya, baik dalam hal pangan maupun sandang. Tempat tinggal juga menjadi tanggung jawab suami untuk menyediakannya.

Tempatkanlah mereka-mereka (istri-istri) di tempat kamu tinggal sesuai dengan kemampuan kamu (menyediakannya), tetapi janganlah kamu membahayakan mereka karena kamu bermaksud menyusahkan mereka” (QS. Ath-Thalaq(65):6).

Demikianlah secara normatif Islam telah mengaturnya dengan adil. Wanita memiliki tugas reproduksi yang tak bisa diprtukarkan dengan pria, tidak dibebani kewajiban dalam hal memenuhi kebutuhan keluarga. Namun ada kalanya hal yang tidak diinginkan terjadi, sebagaimana kasus yang dialami Rida. Dengan demikian, meski beban mencari nafkah ada pada suami, bukan berarti anita tak penting untuk mengasah bakat atau mengembangkan potensinya untuk kemudian bekerja membantu mencarikan nafkah. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pada zaman Rasulullah para wanita turut aktif dalam kegiatan muamalah dan kegiatan kemasyarakatan umum, bahkan ada yang ikut dalam peperangan.

Zainab, istri Ibnu Mas’ud berusaha sendiri serta menafkahi suami dan anak yatim, ketika hal itu ditanyakan pada Rasulullah, maka Rasulullah mengatakan bahwa yang demikian itu sah.

Khadijah, istri Rasulullah sendiri juga adalah seorang pengusaha profesional, bahkan Nabi Muhammad pun pernah menjadi karyawannya. Peran Khadijah sangat besar dalam menunjang perjuangan Nabi. Banyak kisah-kisah pada zaman Rasulullah yang menggambarkan keikutsertaan para wanita dalm menghidupkan keluarganya, baik dalam bidang peternakan, pertanian, maupun perdagangan. Bahkan Al-Qur’an mengisahkan tentang dua anak gadis Nabi Syuaib yang bekerja di luar rumah sebagai gembala ternak milik ayahnya. Dalm keadaan memaksa, anak laki-laki maupun perempuan sama-sama berkewajiban membantu ayahnya (keluarganya) yang tidak mampu.

Wanita dan Dunia Kerja
Peta kemiskinan dunia menunjukkan bahwa banyak keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan adalah golongan yang menjadi kepala kelarganya adalah wanita. Hal ini menggambarkan bahwa banyak ibu yang tak siap menjadi pencari nafkah ketika ditinggal suami. Padahal apabila wanita (ibu) dalam satu keluarga tertentu berada dalam kondisi “miskin”, baik pendidikan, pengetahuan, maupun pengalaman, maka besar kemungkinan keluarga yang dibentuknya akan “miskin” juga, seperti yang ditulis Harrel R. Rodges dalam buku Poor Woman Poor Families. Satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa di berbagai belahan bumi manapun, pendidikan bagi anak perempuan masih dinomorduakan.

Profesionalime yang kurang mengakibatkan terpinggirkannyawanita dalam dunia kerja. Sektor-sektor yang bisa direngkuh kebanyakan dalam sektor domestik, seperti pramuwisma atau buruh pabrik-pabrik. Bekerja, khususnya jika di luar rumah, di sisi lain juga menimbulkan sisi-sisi negatif. Di samping secara psikologis menimbulkan rasa bersalah di hati para ibu karena telah meninggalkan anak-anaknya, juga masalah sosial seperti adanya pelecehan seksual, baik dari atasan rekan sekerja. Selain itu ditinjau dari segi penghasilan, upah wanita cenderung lebih kecil dibanding pria. Para “feminis” menganjurkan wanita bekerja karena menganggap bahwa kekerasan dan ketertindasan wanita (istri) oleh kaum lelaki (suami), karena lemahnya posisi wanita dalam hal ekonomi keluarga. Ketergantungan istri dalam segi keuangan terhadap suami menimbulkan tindak kesewenang-wenangan para suami. Namun fenomena lain cukup menarik terjadi di Amerika Serikat. Umumnya pada pasangan suami istri di AS sebagian besar istrinya bekerja. Akan tetapi data statistik di sana menunjukkan bahwa tiap 9 menit terjadi kekerasan fisik terhadap wanita, 25% perempuan yang terbunuh adalah dibunuh oleh pasangan suaminya. Kekerasan dalam rumah tangga di AS merupakan bahaya terbesar -meski tersembunyi- bagi para istri dibanding bahaya perampokan dan pencurian. Hal ini menunjukkan bahwa wanita bekerja bukan merupakan solusi terhadap tindak kekerasan para suami terhadap istri. Dengan kata lain, janganlah wanita bekerja karena takut diremehkan atau diperlakukan kasar oleh suami.

Menjadi ibu rumah tangga bagaimanapun merupakan tugas mulia. Pekerjaan rumah tangga tidak bisa dinilai remeh. Jika pekerjaan rumah tangga ditambahkan ke dalam angka-angka bagi GNP global, maka diperkirakan angka GNP global tersebut akan meningkat sekitar sepertiganya. Kajian terakhir tentang wanita menunjukkan bahwa perempuan selalu penting secara ekonomi, dan kerja yang dilakukan dalam rumah tangga sangat mendasar untuk mempertahankan masyarakatnya. Namun kembali pada masalah semula, ada kalanya wanita harus bekerja untuk memenuhi tuntutan kebutuhan keluarga. Dalam hal ini diperlukan tumbuhnya kemandirian dan kekuatan intelektual untuk mengatasi masalah tersebut. Wanita perlu membekali dirinya dengan pengetahuan dan keterampilan agar bisa dipergunakan dalam kehidupan runah tangganya.

Pada dasarnya, bekerja bagi wanita Indonesia sudah merupakan tradisi turun-menurun. Sudah sejak dulu para istri membantu di ladang atau di sawah. Namun kehidupan pada masa kini memberikan tawaran yang sangat luas bagi wanita. Penting digarisbawahi bahwa wanita, khususnya muslimah harus selektif dalam menentukan jenis pekerjaan yang akan digeluti. Perlu diperhatikan dampak negatifnya, juga bidang yang sesuai dengan kodratnya, dan secara syariat juga perlu diperhatikan. Beberapa pilihan pekerjaan bisa dilakukan di dalam rumah. Bagaimanapun tugas utama seorang ibu adalah ibu rumah tangga. Bekerja bukan bertujuan untuk mencari kebebasan. Ketika seorang sahabat Rasul menanyakan bolehkah bibinya yang diceraikan suaminya hendak memanen kurma pada masa ‘iddahnya. Rasulullah menjawab, “Tidak apa-apa, potonglah buah kurmamu. Barangkali dengan begitu kamu biasa bersedekah atau melakukan suatu kebajikan” (HR. Muslim). Zainab binti Jahsy adalah ahli dalam menyamak dan menjahit kulit dan dengan hasil usahanya itu dia bersedekah di jalan Allah. Suatu hari Aisyah r.a. berkata, “Ternyata yang terpanjang tangannya di antara kami adalah Zainab, sebab dia sudah terbiasa berusaha dengan tangannya sendiri dan bersedekah” (HR. Muslim).

Oleh karena itu ketika seorang wanita bekerja, hendaklah tujuannya semata-mata hanya untuk melakuka kebajikan. Dengan demikian akan mendapatkan manfaat

By. Annisa El-Shofy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar