KALA
WANITA HARUS MANDIRI
Malam
kian larut, Rida masih berdiri mematung di samping tempat tidur
anak-anaknya. Dipandanginya satu per satu wajah-wajah polos buah
hatinya yang tengah terlelap. Waktu terus berjalan, tak terasa
anak-anak pun kian tumbuh dan berkembang. Si sulung Shifa tak lama
lagi akan meninggalkan bangku Sekolah Dasar, disusul adiknya, Salma,
yang hanya terpaut usia empat belas bulan. Ramadhan, anak laki-laki
satu-satunya kini telah menginjak kelas tiga SD. Sedangkan si bungsu
Salsa, tahun ini seharusnya sudah masuk Taman Kanak-Kanak. Bagi Rida,
in bukan kali pertama ia kesulitan memejamkan mata. Sejak suaminya
meninggal enam bulan yang lalu, banyak sekali beban yang dirasakan
menghimpitnya. Anak-anak yang kian besar, disamping sangat
membutuhkan perhatiannya, secara finansial juga membutuhkan biaya
yang lebih besar. Rida seringkali merasa khawatir tak mampu
membesarkan anak-anaknya dengan baik. Rida adalah seorang ibu yang
sangat peduli dengan perkembangan dan pendidikan putra-putrinya.
Tak
pernah terbayangkan olehnya, kalau suaminya akan secepat itu
meninggalkan dirinya dan anak-anaknya yang masih sangat
membutuhkannya. Rida meras tak siap, karena selama ini urusan
menafkahi keluarga tertumpu pada suaminya. Dulu Rida dengan sesuka
hati memilihkan makanan sehat dan bergizi, membelikan berbagai mainan
edukatif, buku-buku berkualitas, mengikutkan anaknya pada beberapa
kursus yang disukainya, pergi rekreasi, dan mengikuti berbagai
aktivitas lainnya yang ditujukan untuk menunjang perkembangkanfisik,
mental, dan intelektual anak-anaknya. Kini Rida tak bisa sebebas itu
lagi. Ia harus begitu hemat dan cermat dalam mengeluarkan rupiah demi
rupiah.
Tak
ada uang pensiun yang ditinggalkan suaminya, hanya uang tunjangan
dari perusahaannya serta sedikit uang tabungannya. Sebagai seorang
ibu rumah tangga yang terbiasa menggantungkan hidup pada sang suami,
tentu saja Rida merasa kelimpungan. Meminta bantuan orang tua atau
mertua tentu bukan pilihan yang menyenangkan, karena disamping
keadaan mereka yang biasa-biasa saja juga Rida merasa tak pantas.
Berusaha mandiri, itulah pilihan yang tepat. Tapi itu tak mudah,
disamping tak terbiasa, Rida juga tak memiliki keterampilan khusus
yang bisa diandalkan untuk menopang hidup keluarganya. Dari mana dan
bagaimana ia hars memulai.
Kasus
pelik yang dialami Rida merupakan hal yang juga dialami oleh sebagian
wanita yang bernasib kurang beruntung. Siapa sangka pasangn hidup
meninggal dunia atau menceraikan karena suatu sebab. Atau penghasilan
suaminya tak cukup memadai. Siapa yang menginginkan hal itu terjadi?
Takdir pun tak bisa diajak kompromi. Hidup harus terus diperjuangkan
dan harus bertahan.
Nafkah
dalam Islam
Dalam
Islam, persoalan menafkahi keluarga telah diatur dengan sangat jelas.
Suami sebagai kepala keluarga berkewajiban untuk menafkahi keluarga.
Dalam Al-Qur’an Surat Ath-Thalaq (65) ayat 7, telah dikatakan
bahwa, “Hendaklah
suami yang berkemampuan, memberikan nafkah sesuai kemampuannya”.
Ayat lain pada QS. Al-Baqarah(2):233 juga mengatakan bahwa, “Para
ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selam dua tahun penuh, yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuannya, dan ayah berkewajiban memberi
makan dan pakaian kepada ibu-ibu tersebut dengan cara yang wajar”.
Berdasarkan ayat-ayat tersebut, sangat jelas dikatakan bahwa suamilah
yang dituntut untuk menafkahi keluarganya, baik dalam hal pangan
maupun sandang. Tempat tinggal juga menjadi tanggung jawab suami
untuk menyediakannya.
“Tempatkanlah
mereka-mereka (istri-istri) di tempat kamu tinggal sesuai dengan
kemampuan kamu (menyediakannya), tetapi janganlah kamu membahayakan
mereka karena kamu bermaksud menyusahkan mereka”
(QS. Ath-Thalaq(65):6).
Demikianlah
secara normatif Islam telah mengaturnya dengan adil. Wanita memiliki
tugas reproduksi yang tak bisa diprtukarkan dengan pria, tidak
dibebani kewajiban dalam hal memenuhi kebutuhan keluarga. Namun ada
kalanya hal yang tidak diinginkan terjadi, sebagaimana kasus yang
dialami Rida. Dengan demikian, meski beban mencari nafkah ada pada
suami, bukan berarti anita tak penting untuk mengasah bakat atau
mengembangkan potensinya untuk kemudian bekerja membantu mencarikan
nafkah. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pada zaman Rasulullah
para wanita turut aktif dalam kegiatan muamalah dan kegiatan
kemasyarakatan umum, bahkan ada yang ikut dalam peperangan.
Zainab,
istri Ibnu Mas’ud berusaha sendiri serta menafkahi suami dan anak
yatim, ketika hal itu ditanyakan pada Rasulullah, maka Rasulullah
mengatakan bahwa yang demikian itu sah.
Khadijah,
istri Rasulullah sendiri juga adalah seorang pengusaha profesional,
bahkan Nabi Muhammad pun pernah menjadi karyawannya. Peran Khadijah
sangat besar dalam menunjang perjuangan Nabi. Banyak kisah-kisah pada
zaman Rasulullah yang menggambarkan keikutsertaan para wanita dalm
menghidupkan keluarganya, baik dalam bidang peternakan, pertanian,
maupun perdagangan. Bahkan Al-Qur’an mengisahkan tentang dua anak
gadis Nabi Syuaib yang bekerja di luar rumah sebagai gembala ternak
milik ayahnya. Dalm keadaan memaksa, anak laki-laki maupun perempuan
sama-sama berkewajiban membantu ayahnya (keluarganya) yang tidak
mampu.
Wanita
dan Dunia Kerja
Peta
kemiskinan dunia menunjukkan bahwa banyak keluarga yang berada di
bawah garis kemiskinan adalah golongan yang menjadi kepala kelarganya
adalah wanita. Hal ini menggambarkan bahwa banyak ibu yang tak siap
menjadi pencari nafkah ketika ditinggal suami. Padahal apabila wanita
(ibu) dalam satu keluarga tertentu berada dalam kondisi “miskin”,
baik pendidikan, pengetahuan, maupun pengalaman, maka besar
kemungkinan keluarga yang dibentuknya akan “miskin” juga, seperti
yang ditulis Harrel R. Rodges dalam buku Poor
Woman Poor Families.
Satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa di berbagai belahan bumi
manapun, pendidikan bagi anak perempuan masih dinomorduakan.
Profesionalime
yang kurang mengakibatkan terpinggirkannyawanita dalam dunia kerja.
Sektor-sektor yang bisa direngkuh kebanyakan dalam sektor domestik,
seperti pramuwisma atau buruh pabrik-pabrik. Bekerja, khususnya jika
di luar rumah, di sisi lain juga menimbulkan sisi-sisi negatif. Di
samping secara psikologis menimbulkan rasa bersalah di hati para ibu
karena telah meninggalkan anak-anaknya, juga masalah sosial seperti
adanya pelecehan seksual, baik dari atasan rekan sekerja. Selain itu
ditinjau dari segi penghasilan, upah wanita cenderung lebih kecil
dibanding pria. Para “feminis” menganjurkan wanita bekerja karena
menganggap bahwa kekerasan dan ketertindasan wanita (istri) oleh kaum
lelaki (suami), karena lemahnya posisi wanita dalam hal ekonomi
keluarga. Ketergantungan istri dalam segi keuangan terhadap suami
menimbulkan tindak kesewenang-wenangan para suami. Namun fenomena
lain cukup menarik terjadi di Amerika Serikat. Umumnya pada pasangan
suami istri di AS sebagian besar istrinya bekerja. Akan tetapi data
statistik di sana menunjukkan bahwa tiap 9 menit terjadi kekerasan
fisik terhadap wanita, 25% perempuan yang terbunuh adalah dibunuh
oleh pasangan suaminya. Kekerasan dalam rumah tangga di AS merupakan
bahaya terbesar -meski tersembunyi- bagi para istri dibanding bahaya
perampokan dan pencurian. Hal ini menunjukkan bahwa wanita bekerja
bukan merupakan solusi terhadap tindak kekerasan para suami terhadap
istri. Dengan kata lain, janganlah wanita bekerja karena takut
diremehkan atau diperlakukan kasar oleh suami.
Menjadi
ibu rumah tangga bagaimanapun merupakan tugas mulia. Pekerjaan rumah
tangga tidak bisa dinilai remeh. Jika pekerjaan rumah tangga
ditambahkan ke dalam angka-angka bagi GNP global, maka diperkirakan
angka GNP global tersebut akan meningkat sekitar sepertiganya. Kajian
terakhir tentang wanita menunjukkan bahwa perempuan selalu penting
secara ekonomi, dan kerja yang dilakukan dalam rumah tangga sangat
mendasar untuk mempertahankan masyarakatnya. Namun kembali pada
masalah semula, ada kalanya wanita harus bekerja untuk memenuhi
tuntutan kebutuhan keluarga. Dalam hal ini diperlukan tumbuhnya
kemandirian dan kekuatan intelektual untuk mengatasi masalah
tersebut. Wanita perlu membekali dirinya dengan pengetahuan dan
keterampilan agar bisa dipergunakan dalam kehidupan runah tangganya.
Pada
dasarnya, bekerja bagi wanita Indonesia sudah merupakan tradisi
turun-menurun. Sudah sejak dulu para istri membantu di ladang atau di
sawah. Namun kehidupan pada masa kini memberikan tawaran yang sangat
luas bagi wanita. Penting digarisbawahi bahwa wanita, khususnya
muslimah harus selektif dalam menentukan jenis pekerjaan yang akan
digeluti. Perlu diperhatikan dampak negatifnya, juga bidang yang
sesuai dengan kodratnya, dan secara syariat juga perlu diperhatikan.
Beberapa pilihan pekerjaan bisa dilakukan di dalam rumah.
Bagaimanapun tugas utama seorang ibu adalah ibu rumah tangga. Bekerja
bukan bertujuan untuk mencari kebebasan. Ketika seorang sahabat Rasul
menanyakan bolehkah bibinya yang diceraikan suaminya hendak memanen
kurma pada masa ‘iddahnya. Rasulullah menjawab, “Tidak
apa-apa, potonglah buah kurmamu. Barangkali dengan begitu kamu biasa
bersedekah atau melakukan suatu kebajikan”
(HR. Muslim). Zainab binti Jahsy adalah ahli dalam menyamak dan
menjahit kulit dan dengan hasil usahanya itu dia bersedekah di jalan
Allah. Suatu hari Aisyah r.a. berkata, “Ternyata
yang terpanjang tangannya di antara kami adalah Zainab, sebab dia
sudah terbiasa berusaha dengan tangannya sendiri dan bersedekah”
(HR. Muslim).
Oleh
karena itu ketika seorang wanita bekerja, hendaklah tujuannya
semata-mata hanya untuk melakuka kebajikan. Dengan demikian akan
mendapatkan manfaat
By.
Annisa El-ShofyKALA WANITA HARUS MANDIRI
Malam
kian larut, Rida masih berdiri mematung di samping tempat tidur
anak-anaknya. Dipandanginya satu per satu wajah-wajah polos buah
hatinya yang tengah terlelap. Waktu terus berjalan, tak terasa
anak-anak pun kian tumbuh dan berkembang. Si sulung Shifa tak lama
lagi akan meninggalkan bangku Sekolah Dasar, disusul adiknya, Salma,
yang hanya terpaut usia empat belas bulan. Ramadhan, anak laki-laki
satu-satunya kini telah menginjak kelas tiga SD. Sedangkan si bungsu
Salsa, tahun ini seharusnya sudah masuk Taman Kanak-Kanak. Bagi Rida,
in bukan kali pertama ia kesulitan memejamkan mata. Sejak suaminya
meninggal enam bulan yang lalu, banyak sekali beban yang dirasakan
menghimpitnya. Anak-anak yang kian besar, disamping sangat
membutuhkan perhatiannya, secara finansial juga membutuhkan biaya
yang lebih besar. Rida seringkali merasa khawatir tak mampu
membesarkan anak-anaknya dengan baik. Rida adalah seorang ibu yang
sangat peduli dengan perkembangan dan pendidikan putra-putrinya.
Tak
pernah terbayangkan olehnya, kalau suaminya akan secepat itu
meninggalkan dirinya dan anak-anaknya yang masih sangat
membutuhkannya. Rida meras tak siap, karena selama ini urusan
menafkahi keluarga tertumpu pada suaminya. Dulu Rida dengan sesuka
hati memilihkan makanan sehat dan bergizi, membelikan berbagai mainan
edukatif, buku-buku berkualitas, mengikutkan anaknya pada beberapa
kursus yang disukainya, pergi rekreasi, dan mengikuti berbagai
aktivitas lainnya yang ditujukan untuk menunjang perkembangkanfisik,
mental, dan intelektual anak-anaknya. Kini Rida tak bisa sebebas itu
lagi. Ia harus begitu hemat dan cermat dalam mengeluarkan rupiah demi
rupiah.
Tak
ada uang pensiun yang ditinggalkan suaminya, hanya uang tunjangan
dari perusahaannya serta sedikit uang tabungannya. Sebagai seorang
ibu rumah tangga yang terbiasa menggantungkan hidup pada sang suami,
tentu saja Rida merasa kelimpungan. Meminta bantuan orang tua atau
mertua tentu bukan pilihan yang menyenangkan, karena disamping
keadaan mereka yang biasa-biasa saja juga Rida merasa tak pantas.
Berusaha mandiri, itulah pilihan yang tepat. Tapi itu tak mudah,
disamping tak terbiasa, Rida juga tak memiliki keterampilan khusus
yang bisa diandalkan untuk menopang hidup keluarganya. Dari mana dan
bagaimana ia hars memulai.
Kasus
pelik yang dialami Rida merupakan hal yang juga dialami oleh sebagian
wanita yang bernasib kurang beruntung. Siapa sangka pasangn hidup
meninggal dunia atau menceraikan karena suatu sebab. Atau penghasilan
suaminya tak cukup memadai. Siapa yang menginginkan hal itu terjadi?
Takdir pun tak bisa diajak kompromi. Hidup harus terus diperjuangkan
dan harus bertahan.
Nafkah
dalam Islam
Dalam
Islam, persoalan menafkahi keluarga telah diatur dengan sangat jelas.
Suami sebagai kepala keluarga berkewajiban untuk menafkahi keluarga.
Dalam Al-Qur’an Surat Ath-Thalaq (65) ayat 7, telah dikatakan
bahwa, “Hendaklah
suami yang berkemampuan, memberikan nafkah sesuai kemampuannya”.
Ayat lain pada QS. Al-Baqarah(2):233 juga mengatakan bahwa, “Para
ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selam dua tahun penuh, yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuannya, dan ayah berkewajiban memberi
makan dan pakaian kepada ibu-ibu tersebut dengan cara yang wajar”.
Berdasarkan ayat-ayat tersebut, sangat jelas dikatakan bahwa suamilah
yang dituntut untuk menafkahi keluarganya, baik dalam hal pangan
maupun sandang. Tempat tinggal juga menjadi tanggung jawab suami
untuk menyediakannya.
“Tempatkanlah
mereka-mereka (istri-istri) di tempat kamu tinggal sesuai dengan
kemampuan kamu (menyediakannya), tetapi janganlah kamu membahayakan
mereka karena kamu bermaksud menyusahkan mereka”
(QS. Ath-Thalaq(65):6).
Demikianlah
secara normatif Islam telah mengaturnya dengan adil. Wanita memiliki
tugas reproduksi yang tak bisa diprtukarkan dengan pria, tidak
dibebani kewajiban dalam hal memenuhi kebutuhan keluarga. Namun ada
kalanya hal yang tidak diinginkan terjadi, sebagaimana kasus yang
dialami Rida. Dengan demikian, meski beban mencari nafkah ada pada
suami, bukan berarti anita tak penting untuk mengasah bakat atau
mengembangkan potensinya untuk kemudian bekerja membantu mencarikan
nafkah. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pada zaman Rasulullah
para wanita turut aktif dalam kegiatan muamalah dan kegiatan
kemasyarakatan umum, bahkan ada yang ikut dalam peperangan.
Zainab,
istri Ibnu Mas’ud berusaha sendiri serta menafkahi suami dan anak
yatim, ketika hal itu ditanyakan pada Rasulullah, maka Rasulullah
mengatakan bahwa yang demikian itu sah.
Khadijah,
istri Rasulullah sendiri juga adalah seorang pengusaha profesional,
bahkan Nabi Muhammad pun pernah menjadi karyawannya. Peran Khadijah
sangat besar dalam menunjang perjuangan Nabi. Banyak kisah-kisah pada
zaman Rasulullah yang menggambarkan keikutsertaan para wanita dalm
menghidupkan keluarganya, baik dalam bidang peternakan, pertanian,
maupun perdagangan. Bahkan Al-Qur’an mengisahkan tentang dua anak
gadis Nabi Syuaib yang bekerja di luar rumah sebagai gembala ternak
milik ayahnya. Dalm keadaan memaksa, anak laki-laki maupun perempuan
sama-sama berkewajiban membantu ayahnya (keluarganya) yang tidak
mampu.
Wanita
dan Dunia Kerja
Peta
kemiskinan dunia menunjukkan bahwa banyak keluarga yang berada di
bawah garis kemiskinan adalah golongan yang menjadi kepala kelarganya
adalah wanita. Hal ini menggambarkan bahwa banyak ibu yang tak siap
menjadi pencari nafkah ketika ditinggal suami. Padahal apabila wanita
(ibu) dalam satu keluarga tertentu berada dalam kondisi “miskin”,
baik pendidikan, pengetahuan, maupun pengalaman, maka besar
kemungkinan keluarga yang dibentuknya akan “miskin” juga, seperti
yang ditulis Harrel R. Rodges dalam buku Poor
Woman Poor Families.
Satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa di berbagai belahan bumi
manapun, pendidikan bagi anak perempuan masih dinomorduakan.
Profesionalime
yang kurang mengakibatkan terpinggirkannyawanita dalam dunia kerja.
Sektor-sektor yang bisa direngkuh kebanyakan dalam sektor domestik,
seperti pramuwisma atau buruh pabrik-pabrik. Bekerja, khususnya jika
di luar rumah, di sisi lain juga menimbulkan sisi-sisi negatif. Di
samping secara psikologis menimbulkan rasa bersalah di hati para ibu
karena telah meninggalkan anak-anaknya, juga masalah sosial seperti
adanya pelecehan seksual, baik dari atasan rekan sekerja. Selain itu
ditinjau dari segi penghasilan, upah wanita cenderung lebih kecil
dibanding pria. Para “feminis” menganjurkan wanita bekerja karena
menganggap bahwa kekerasan dan ketertindasan wanita (istri) oleh kaum
lelaki (suami), karena lemahnya posisi wanita dalam hal ekonomi
keluarga. Ketergantungan istri dalam segi keuangan terhadap suami
menimbulkan tindak kesewenang-wenangan para suami. Namun fenomena
lain cukup menarik terjadi di Amerika Serikat. Umumnya pada pasangan
suami istri di AS sebagian besar istrinya bekerja. Akan tetapi data
statistik di sana menunjukkan bahwa tiap 9 menit terjadi kekerasan
fisik terhadap wanita, 25% perempuan yang terbunuh adalah dibunuh
oleh pasangan suaminya. Kekerasan dalam rumah tangga di AS merupakan
bahaya terbesar -meski tersembunyi- bagi para istri dibanding bahaya
perampokan dan pencurian. Hal ini menunjukkan bahwa wanita bekerja
bukan merupakan solusi terhadap tindak kekerasan para suami terhadap
istri. Dengan kata lain, janganlah wanita bekerja karena takut
diremehkan atau diperlakukan kasar oleh suami.
Menjadi
ibu rumah tangga bagaimanapun merupakan tugas mulia. Pekerjaan rumah
tangga tidak bisa dinilai remeh. Jika pekerjaan rumah tangga
ditambahkan ke dalam angka-angka bagi GNP global, maka diperkirakan
angka GNP global tersebut akan meningkat sekitar sepertiganya. Kajian
terakhir tentang wanita menunjukkan bahwa perempuan selalu penting
secara ekonomi, dan kerja yang dilakukan dalam rumah tangga sangat
mendasar untuk mempertahankan masyarakatnya. Namun kembali pada
masalah semula, ada kalanya wanita harus bekerja untuk memenuhi
tuntutan kebutuhan keluarga. Dalam hal ini diperlukan tumbuhnya
kemandirian dan kekuatan intelektual untuk mengatasi masalah
tersebut. Wanita perlu membekali dirinya dengan pengetahuan dan
keterampilan agar bisa dipergunakan dalam kehidupan runah tangganya.
Pada
dasarnya, bekerja bagi wanita Indonesia sudah merupakan tradisi
turun-menurun. Sudah sejak dulu para istri membantu di ladang atau di
sawah. Namun kehidupan pada masa kini memberikan tawaran yang sangat
luas bagi wanita. Penting digarisbawahi bahwa wanita, khususnya
muslimah harus selektif dalam menentukan jenis pekerjaan yang akan
digeluti. Perlu diperhatikan dampak negatifnya, juga bidang yang
sesuai dengan kodratnya, dan secara syariat juga perlu diperhatikan.
Beberapa pilihan pekerjaan bisa dilakukan di dalam rumah.
Bagaimanapun tugas utama seorang ibu adalah ibu rumah tangga. Bekerja
bukan bertujuan untuk mencari kebebasan. Ketika seorang sahabat Rasul
menanyakan bolehkah bibinya yang diceraikan suaminya hendak memanen
kurma pada masa ‘iddahnya. Rasulullah menjawab, “Tidak
apa-apa, potonglah buah kurmamu. Barangkali dengan begitu kamu biasa
bersedekah atau melakukan suatu kebajikan”
(HR. Muslim). Zainab binti Jahsy adalah ahli dalam menyamak dan
menjahit kulit dan dengan hasil usahanya itu dia bersedekah di jalan
Allah. Suatu hari Aisyah r.a. berkata, “Ternyata
yang terpanjang tangannya di antara kami adalah Zainab, sebab dia
sudah terbiasa berusaha dengan tangannya sendiri dan bersedekah”
(HR. Muslim).
Oleh
karena itu ketika seorang wanita bekerja, hendaklah tujuannya
semata-mata hanya untuk melakuka kebajikan. Dengan demikian akan
mendapatkan manfaat
By.
Annisa El-Shofy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar